7.02.2013

Ia yang duduk di pojok...


Ia duduk di pojok, tepi pintu. Dari semua penumpang yang ada sore itu, ia terlihat paling mencolok. Bukan karena paling cantik atau tampan, tapi terlalu terlihat berbeda.
Bemo sore itu agak sedikit longgar. Dari arah berlawanan dengannya, duduklah segerombol anak laki laki berseragam putih abu abu. Mereka cekikikan. Guyon sambil ledek sana sini.
Sesekali ia melirik gerombolan anak sekolahan itu, takut dikira ialah bahan olokan hingga membuat segerombol itu tertawa terbahak. Suaranya memekakkan telinga penumpang lainnya. Belum lagi bau keringat yang membuatku terpancing mengeluarkan isi perut ini.
Tubuhnya memang ramping. Tinggi sekitar 170 senti. Dia bahkan lebih ramping, jika dibanding denganku yang timbangannya sudah mencapai angka 65 kilo ini. Rambutnya panjang bergelombang melewati pundak, sedikit berpundak. Alisnya sempurna ia lukis dengan pensil alis kecoklatan. Matanya sedikit berkedip, memamerkan bulu matanya yang panjang, dengan eyeshadow ijo, warnanya mencolok mata. Pipinya merona ia poles. Bibirnya merah muda terang, menggoda setiap pasang mata yang melirik.
Dress pendek sepaha ia padukan dengan stoking jaring jaring yang melapisi paha Amulusnya. Sepatu hak 5 senti membuat kakinya semakin terlihat jenjang.
“apa lihat lihat?” tanyanya. Tidak dengan nada marah, sedikit menggoda. Ia tujukan pada gerombolan seragam itu.
“banci ya?” tanya salah seorang dari mereka sambil menahan rasa ingin tertawa.
“memang kenapa? Ini buat cari uang kok”
Ya memang untuk cari uang. Kita tidak bisa menghakimi apa profesi seseorang. Mengenai penampilan, dandanan maupun cara kerjanya. Soal halal tidaknya pekerjaan itu, bukan tugas kita untuk mengorek ngorek. Biarkan dia belajar menyinkronkan kepentingan duniawi dan surgawi, lalu menatap lebih dalam pada Yang Maha Kuasa.

0 comments:

Post a Comment